I. Latar belakang
Suku Nias adalah
kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias.[1] Orang Nias menyebut
diri mereka sebagai Ono Niha (anak manusia). Kemudian pulau Nias disebut
sebagai Tanő Niha (tanah manusia). Suku Nias adalah masyarakat yang
hidup dalam hukum adat dan kebudayaan yang sangat kental. Hukum adat
Nias secara umum disebut fodrakő yang mengatur segala segi kehidupan
mulai dari kelahiran sampai kematian. Jauh sebelumnya, masyarakat Nias
primitif hidup dalam budaya megalitik. Hal ini terlihat dari peninggalan
sejarah seperti artefak-artefak yang masih ditemukan di banyak wilayah
pedalaman pulau Nias sampai sekarang ini.
Masyarakat Nias
juga mengenal sistem kasta. Ada dua belas tingkatan kasta. Dari
tingkatan kasta yang ada, yang tertinggi adalah “Balugu”. Untuk mencapai
tingkatan ini, seseorang harus mampu mengadakan pesta besar selama
berhari-hari dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ratusan/ekor
babi. Biasanya orang-orang yang melakukan ini adalah mereka yang
memiliki harta dan emas.
a). Mitologi:Menurut masyarakat
Nias, dalam sebuah mitos, orang Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan
yang disebut Sigaru Tora’a yang terletak disebuah tempat yang bernama
Tetehőli ana’a. Mitologi Nias ini terdapat dalam hoho[2]. Dalam hoho
diceritakan bahwa alam semesta beserta segala isinya adalah ciptaan
Lowalangi[3] (Untuk selanjutnya saya lebih suka menggunakan istilah
”pencipta”) dari beberapa warna udara yang ia aduk dengan tongkat yang
bernama sihai[4]. Dewa pencipta terlebih dahulu menciptakan pohon
kehidupan yang disebut Sigaru Tora’a. Pohon ini berbuah dua butir buah
yang segera dierami oleh seekor laba-laba emas. Kemudian lahirlah
sepasang dewa pertama, yang dinamakan Tuhamora’aangi Tuhamoraana’a
berjenis kelamin laki-laki dan Burutiroangi Burutiraoana’a berjenis
kelamin perempuan.[5] Keturunan mereka inilah yang kemudia dikenal
sebagai dewa Sirao Uwu Zihõnõ sebagai rajanya.
Mitos asal
usul masyarakat Nias pun, dimulai sejak zaman raja Sirao. Dewa ini
memiliki tiga istri yang masing-masing beranak tiga putra. Di antara
kesembilan putranya ini timbul pertengkaran yang sengit, yaitu mereka
memperebutkan tahta Raja Sirao ayah mereka. Melihat situasi ini, Sirao
mengadakan sayembara di antara putra-putranya. Intinya, siapapun yang
mampu mencabut tombak (toho) yang telah dipancangkan di lapangan depan
istana itulah yang berhak menggantikan-nya. Satu persatu putranya mulai
dari yang tertua datang mencoba mencabut tombak tersebut. Tapi tak
satupun berhasil. Kemudian anak yang paling bungsu yang bernama Luo
Mĕwõna[6] (Lowalangi) datang mencabutnya dan akhirnya berhasil.
Kakak-kakaknya
yang kalah dalam sayembara tersebut diasingkan dari Tetehõli ana’a, dan
dibuang ke bumi, tepatnya di pulau Nias. Dari kedelapan putra Sirao
yang dibuang ke dunia (Pulau Nias) hanya empat orang yang dapat sampai
di empat tempat di pulau Nias dengan selamat dan akhirnya menjadi
leluhur orang Nias. Ke-empat orang lainnya mengalami kecelakaan.
Baewadanõ Hia karena terlalu berat, jatuh menembus bumi dan menjelma
menjadi ular besar yang bernama Da’õ Zanaya Tanõ sisagõrõ[7] (dialah
yang menjadi alas/fondasi seluruh bumi). Jika dia bergerak sedikit saja,
maka bumi akan bergoncang dan terjadilah gempa bumi. Agar dapat hidup,
naga ini diberi makan oleh burung setiap hari.Yang lain jatuh ke dalam
air dan menjadi hantu sungai, pujaan para nelayan. Dia sering disebut
hadroli[8]. Ada yang terbawa angin, dan akhirnya tersangkut di pohon dan
menjelma menjadi hantu hutan, pujaan para pemburu. Makluk ini sering
disebut ”Bela”[9]. Ada juga yang jatuh di daerah Laraga yang kondisi
tanahnya penuh batu-batu (12 Km dari Gunung Sitoli) menjadi leluhur
orang-orang berilmu kebal.
b). Penelitian ArkeologiTelah
dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 dan hasilnya ada yang dimuat di
Tempointeraktif[10] dan di Kompas,[11] Rabu 4 Oktober 2006 Rubrik
Humaniora menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000
tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa
paleolitik, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau kata Prof.
Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI
Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan
budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal-usul Suku Nias
berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara
yang disebut Vietnam.[12]
Marga Suku Nias: Suku Nias
terdiri dari beberapa marga diantaranya : Amazihönö, Beha, Baene,
Bate’e, Bawamenewi, Bawaniwao, Bawo, dan masih banyak lagi. Fungsi marga
adalah menunjukkan garis keturunan dan asal seseorang. Termasuk
mengenal famili, sejauh mana garis keturunan dan bisa tau tidak mereka
menikah.
II. Religiositas Masyarakat Niasa).
Lani,
LangiTradisi lisan Nias sering berbicara tentang langit (lani, langi),
tentang lapisan langit yang satu (lani si sara wenaita), ada juga langit
yang berlapis sembilan (lani si siwa wenaita) dan tentang seorang
leluhur yang bernama satu langit (lani sagörö) atau langit yang satu itu
(lani sisagörö). Nama ini dulu sebenarnya bukan Lowalani melainkan
Lawalani artinya yang ada di atas langit. Bahasa sehari-hari di Nias
Selatan sampai sekarang tetap mempertahankan kebiasaan lama dan
mengatakan lawa (atas) dan bukan seperti Nias Utara yang menyebutnya
yawa (atas). Pemakaian istilah Lowalangi sebenarnya dipopulerkan oleh
seorang misionaris Denniger pada tahun 1865. Ia memilih kata Lowalangi
sebagai nama Allah bagi pengikut ajaran Kristen di Nias. Ada kemungkinan
saat itu ia belum mengetahui sebutan tradisi Lawalani di Nias Selatan.
Walaupun demikian istilah ini diterima juga oleh orang Nias Selatan
yaitu yang berada di atas langit.
Menurut versi Pastor
Johannes M. H. Orang Nias tidak mengharapkan firdaus dalam hidup yang
akan datang, tidak pula suatu neraka. Baik hukuman maupun imbalan tidak
mereka harapkan. Karena orang Nias percaya, bahwa semuanya akan
berakhir. Maka orang Nias tidak takut akan sesuatu dan mengharapkan
sesuatu. Hanya inilah yang merupakan imbalan atau hukuman bagi orang
Nias. Mereka yang sudah meninggal dipandang terhormat dan terburuk.
Selain itu mereka pasrah saja pada nasib mereka dengan hati tenang.[13]
Akan tetapi, versi ini diragukan kebenarannya karena pada kenyataanya
orang Nias masih percaya pada arwah leluhur dan peranannya bagi
kehidupan. Bisa dilihat dari patung-patung (Nadu) yang dianggap sebagai
tempat roh leluhur bisa hadir. Selain itu, konsep tentang adanya dunia
orang mati juga dipercaya yaitu Tetehõli ana’a.
Bagi orang
Nias, setelah meninggal semuanya akan punah. Manusia yang meninggal
akan menjadi makanan cacing dan lalat yang besar (ö gulö-kulö, ö deteho)
seperti dinyanyikan dalam Hoho yang tertinggal hanyalah ”Nama
kebesaran” (töi sebua) dan ”kemuliaan” (lakhömi). Sasaran dari
pesta-pesta besar (owasa fatome) yang dirayakan di Nias pada zaman dulu
adalah untuk mendapat nama yang mulai (töi so-lakhömi).[14]
b).
Agama Asli Orang Nias”Pĕlĕbĕgu adalah nama agama asli diberikan oleh
pendatang yang berarti ”penyembah ruh”. Nama yang dipergunakan oleh
penganutnya sendiri adalah molohĕ adu (penyembah adu). Sifat agama ini
adalah berkisar pada penyembahan ruh leluhur.”[15] Meskipun tidak ada
konsep kehidupan setelah kematian menurut versi Pastor Johannes M.H,
tapi dalam kepercayaan ini terdapat praktik penyembahan roh-roh para
leluhur (animisme). Para leluhur itu perlu dikenang, terutama atas
jasa-jasa mereka (Nama Besar dan Kemuliaan). Kepercayaan ini
termanisfestasi dalam bentuk adu. Orang Nias percaya bahwa patung-patung
(adu) itu akan ditempati oleh roh-roh leluhur mereka, karena itu harus
dirawat dengan baik.
”Menurut kepercayaan umat Pĕlĕbĕgu,
tiap orang mempunyai dua macam tubuh, yaitu tubuh kasar (boto) dan tubuh
halus. Tubuh halus terbagi dua, yaitu noso (nafas) dan lumõmõ-lumõ
(bayangan). ”Jika orang mati botonya kembali menjadi debu, nosonya
kembali pada Lowalangi (Allah). Sedangkan lumõ-lumõnya berubah menjadi
bekhu (roh gentayangan)”.[16] Orang Nias percaya, selama belum ada
upacara kematian, bekhu ini akan tetap berada di sekitar jenazahnya atau
kuburannya. Agar bisa kembali ke Tetehõli ana’a (dunia roh), setiap roh
harus menyeberangi suatu jembatan antara dunia orang hidup dan dunia
orang mati. Dalam perjalanan itu, semakin roh itu berjalan, jembatannya
semakin mengecil bahkan sampai sekecil rambut. Hal itu akan dialami oleh
roh-roh yang banyak melakukan kejahatan selama hidupnya. Akhirnya ia
akan jatuh dan masuk ke dalam api yang menyala-nyala. Akan tetapi, bila
selama hidupnya ia baik, jembatannya tidak menyempit sehingga perjalanan
mulus dan sampai ke Tetehõli ana’a.
Dalam
paham agama asli ini, roh tersebut jika sudah sampai ke dunianya, akan
melanjutkan kembali hidupnya seperti di dunia ini. Kalau dulu semasa
hidup dia seorang raja maka di dunia seberang (Tetehõli ana’a) juga ia
akan tetap menjadi raja dan yang miskin akan tetap miskin di dunia
seberang nanti. Dunia Tetehõli ana’a ini keadaanya ”terbalik”. Apa yang
baik di dunia ini, di sana akan jadi buruk. Maka ada kebiasan,
orang-orang Nias, bila menitipkan baju dan barang-barang lainnya, semua
barang itu dirusak. ”Pebedaan dunia sana dengan dunia sini hanya
terletak pada keadaan ”terbalik”, yaitu jika di sini siang di sana malam
demikian juga kalimiat dalam bahasa di sana adalah serba terbalik.”[17]
III. Dua Upacara Penting Dalam Upacara Kematian
a).
Famalakhisisi/Fatomesa (Perjamuan terakhir)Famalakhisisi adalah
perjamuan terakhir bagi orang tua yang sudah mau meninggal. Kata lain
dari famalakhisisi ini adalah La’otome’õ (kata kerja) artinya dijadikan
tamu, fatomesa (kata benda), orang yang sudah mau meninggal akan
diupacarkan yang disebut laotome’õ.
Tradisi budaya Nias
sampai hari ini masih melakukan ritual Famalakhisisi atau fatomesa ini.
Ritual ini biasanya dilakukan pada orang tua yang sudah sakit-sakitan
dan mau meninggal.
Famalakhisi (Perjamuan terakhir kali)
diadakan bagi ayah yang sudah hampir tiba ajalnya oleh para putranya,
setelah ia memberkati serta memberi doa restu kepada mereka. Pada
kesempatan ini si ayah dihidangkan daging babi. Upacara ini harus
dihadiri oleh putra-putranya terutama yang sulung, karena tanpa berkah
doa restu ayahnya, kehidupan anak tersebut akan mengalami banyak
rintangan.[18]
Peranan anak laki-laki khususnya anak
sulung sangat penting. Anak sulung dipandang sebagi pengganti Ayah dan
menjadi pemimpin bagi saudara-saudaranya yang lain. Meskipun peranan
anak perempuan tidak begitu ditekankan, tapi mereka wajib datang dan
membayar utang mereka sama seperti saudaranya laki-laki.
Di
saat-saat terakhir seperti ini, semua anak dan cucunya datang
mengunjunginya. Kedatangan mereka pertama-tama adalah untuk memberikan
penghormatan terakhir pada orang tua. Orangtua dalam perspektif orang
Nias adalah Tuhan di dunia. Sebagai Tuhan yang tampak harus dihormati
dan disembah. Maka berkat orang tua, khususnya saat akhir hidupnya
diyakini sangat menentukan hidup mereka dikemudian hari.
Tujuan
utama Famalakhisi atau fatomesa ini adalah mendapat berkat (howu-howu)
dari Orangtua yang hendak meninggal. Sebaliknya kalau ritual ini tidak
dihadiri (dengan sengaja) oleh salah seorang anaknya, diyakini bahwa dia
akan menjadi anak yang durhaka (tefuyu) dan akan hidup dalam
ketidakcukupan atau tidak mendapat rejeki dalam hidupnya (ha
sifangarö-ngarö ba kaudinga). Maka momen fatomesa ini adalah peristiwa
yang sangat berharga. Hal itu menandakan bahwa mereka adalah anak yang
selalu tunduk dan turut pada orang tua (ono salulu-lulu khö jatua nia).
Karena ketaatan pada orang tua tersebut, mereka akan mendapat berkat
darinya dan hidupnya akan lebih baik.
Dalam acara
Famalakhisi atau fatomesa ini, anak-anak dan cucu-cucu dari orang tua
yang hendak meninggal akan memestakannya dan makan bersama sebagai tanda
penhormatan terhadap orang tua atau kakek mereka. (Dan) Seandainya,
kalau ia meninggal, ia pergi dalam keadaan kenyang dan bahagia karena
dikelilingi anak-anaknya.Berdasarkan pengalaman, di Lahõmi (kampung
saya), ketika seseorang sudah sakit parah, semua anggota keluarga kumpul
, bahkan dari kampung-kampung lain dan memberi makan (mame’e õ) si
sakit. Tentu saja menyembelih anak babi. Setelah berdoa, lalu si sakit
diberi makan oleh anggota keluarga, mulai dari yang tertua. Ini suatu
kepercayaan (pesan tersirat) bahwa kita masih berharap Anda (si sakit)
masih tetap kuat dan bertahan, namun seandainya kamu harus pergi, kami
tidak terlalu menyesal karena kamu pergi dengan kenyang. Kami sudah
melayani dengan baik sehingga seandainya engkau pergi meninggalkan kami,
kamu tidak perlu mencari kami atau mengganggu kami lagi. (Ingat: orang
Nias percaya pada “bekhu.” (setan) Nah, bekhu ini dalam kepercayaan
orang Nias, bisa mengganggu orang yang masih hidup).[19]
3.
Fanõrõ satua dan FangasiFanõrõ satua adalah upacara pemakaman kedua
dari yang wafat. Upacara ini bermaksud untuk ”mengantarkan” rohnya ke
alam baka (Tetehõli ana’a)”[20]. Upacara-upacara ini bersifat potlatch
yaitu unsur memamerkan kekayaan agar menaikkan gengsi keluarga dan
terpandang di masyarakat. Sebab bagi orang Nias yang paling penting
dalam hidup adalah Lakhõmi (Kemuliaan) atau Tõi (Nama) keluarga.
Biasanya dalam upacara-upacara ini, keluarga orang yang telah meninggal
akan mengadakan pesta besar-besaran. Dalam upacara ini, mereka
memamerkan kekayaan dengan memotong babi ratusan ekor dan membagikan
kepada sanak keluarga, kerabat dan orang sekampung bahkan dengan kampung
tetangga. Namun upacara ini tidaklah bersifat wajib. Hanya bagi
orang-orang tertentu saja yang memiliki harta dan uang.
Sinonim
dari fanõrõ satua adalah fangasi. Bagi orang yang meninggal, harus ada
fangasi terjemahan harfiahnya adalah penebusan (redemption). Tapi
fangasi bisa juga disebut fangasiwai artinya penyelesaian. Maka fangasi
ini bisa dikatakan lebih menekankan pada penyelesaian upacara bagi orang
yang telah meninggal.Dalam perspektif orang Nias fangasi tidak sekedar
penebusan orang yang sudah meninggal melainkan sebuah perayaan dan
penghormatan sekaligus pengenangan. Selain itu, juga saat melunasi
hutang-hutangnya jika masih ada. Fangasi ini adalah semacam pesta bagi
orang yang masih hidup sebagai tanda bahwa mereka sudah merelakan
kepergian almarhum. Pesta ini biasanya diadakan empat hari setelah yang
meninggal dikuburkan. Ritual ini dikenal sebagai fananő bunga (menanam
bunga) di pusara yang sudah meninggal.
Ritual yang pertama
sekali diadakan adalah pada pagi hari keluarga beserta kenalan dekat
datang ke kuburan dan menanam bunga, dan kemudian berdoa. Setelah
kembali dari kuburan, mereka akan memotong babi dan makan bersama
sebagai upaya mengenang yang sudah meninggal inilah yang disebut
fangasi. Di sini tidak terlihat lagi tangisan dan kesedihan, upacara ini
adalah tindakan memestakan orang yang sudah meninggal. Upacara ini juga
disebut sebagai penghormatan karena melalui upacara ini dia diakui
eksistensinya bahwa ia pernah hidup dengan mereka, dan sekarang almarhum
telah pergi (mofanő/ irői gulidanő) dari dunia fana ini. Dalam pesta
ini, semua kerabat dan warga sekampung diundang.
Orang
Nias percaya bahwa yang meninggal itu akan menyadari bahwa ia telah
meninggal setelah empat hari. Jadi saat seseorang meninggal sampai empat
hari, ia masih belum bangun, meskipun diyakini bahwa rohnya masih
berada di sekitar rumah.[21] Saat pertama sekali meninggal, almarhum
masih hidup di alam mimpi saja. Tetapi setelah empat hari, almarhum akan
bangun dan di situlah ia menyadari kalau ia sudah meninggal. Maka di
sana akan terdapat ratapan dan tangisan.
Pertama sekali
yang dia lakukan adalah kembali ke rumah. Pada saat jam enam sore/atau
menjelang magrip, di mana suasana sudah mulai gelap, arwahnya akan masuk
ke rumah lewat pintu dapur dan langsung menuju kamarnya, kemudian
mengambil barang-barang miliknya, meskipun yang[22] dia ambil hanyalah
bayangan saja (lumő-lumő). Kepercayaan ini, benar-benar bisa dibuktikan.
Biasanya di pintu belakang rumah akan ditaburkan abu dan besok pagi
akan terlihat bekas kaki almarhum di situ. Bukti itu adalah tanda bahwa
almarhum sudah mengunjungi rumah.
Di
pulau Nias yang sangat hirarkis bangsawan tinggal di bagian atas
tengah desa. Bangsawan ini dibedakan dari masyarakat umum termasuk yg
memegang budak. Budak-budak itu ditangkap dari kelompok tetangga
orang-orang yang tidak bisa membayar utang mereka . Bagian dari budak
diekspor ke daratan di Sumatra, yang bangsawan bahkan lebih kaya.
Kekayaan itu harus dibuat terlihat dalam rumah mereka (P. Orchard,
2001). Meja batu di sebuah desa di Nias, di mana keadilan mengacu pada
rumah-rumah dengan meja-meja batu untuk Pengadilan, Nias, Sumatera
Utara, sekitar 1915
Namun, biasanya pada hari keempat juga
ada ritual bagi orang yang telah meninggal. Acara ini sangat khusus,
hanya dihadiri keluarga dekat saja, bahkan hanya keluarga sendiri.
Mereka (arwah) dipanggil ke rumah untuk jamuan makan terakhir. Tapi
ritual ini hanya dilakukan sebagian orang Nias saja, seperti dikatakan
oleh Pastor Ote OSC:
Satu ritus khusus setelah kematian di
Nias adalah doa setelah 4 hari kematian. Saya lupa istilahnya. Intinya,
arwah orang meninggal diundang dan diberi makan untuk terakhir kalinya.
Ada kepercayaan bahwa selama 4 hari setelah meninggal arwah masih ada
di dalam atau di sekitar rumah. Ritus yang saya tahu adalah pada saat
petang, ogõmi-gõmi mai’fu seseorang pergi ke kubur lalu memukul
permukaan makam, seolah-olah mengetok pintu untuk mengundang arwah si
mati untuk datang ke rumah dan ikut acara. Nah, mulai saat itu, tidak
boleh ada orang yang ada di tengah jalan, apalagi berada di pintu karena
bisa kesambet (tesafo). Dia (arwah) akan dijamu secara khusus dengan
menyembelih babi dan sedapat mungkin sudah membereskan fangasi.
Setelah
empat hari, diyakini bahwa arwah itu sudah siap meninggalkan segala
sesuatu yang ada dunia ini dan pulang kepada Tuhan (Lowalangi). Dalam
acara hari keempat ini, diadakan perpisahan dengan almarhum. Dunia
almarhum telah berbeda, yaitu di alam baka sana. Maka dimohon agar
almarhum tidak lagi mengingat apa yang tertinggal di belakang sebab itu
bukan miliknya lagi. Itu adalah milik orang yang masih hidup. Diharapkan
juga supaya orang yang sudah meninggal itu, bisa tenang di alam sana.
Tidak lagi terikat dengan apa yang ada di dunia ini. Termasuk tidak bisa
menyayangi dan mencintai yang ada di dunia. Karena menyayangi itu sama
dengan menarik orang yang masih hidup ke alam kematian.
Orang
Nias percaya bahwa ”cinta” orang yang sudah meninggal itu tidak
dibutuhkan lagi, sebab kasih sayang mereka itu menimbulkan maut bagi
yang masih hidup.[23] Orang yang sudah meninggal menyayangi dengan
mengambil apa yang mereka sayangi. Artinya membuat yang dia sayangi itu
meninggal. Hal ini juga dibenarkan oleh Pastor Ote.
Dalam
upacara itu, orangtua dalam keluarga itu akan mengadakan/mengucapkan
berbagai batasan dan aturan. Misalnya, “Saudara (yang sudah mati)
duniamu dan dunia kami sekarang berbeda. Tenang dan bahagialah di
tempatmu yang baru dan jangan terlibat lagi dalam segala urusan keluarga
yang masih hidup. Kami sanggup mengatasi segala keperluan keluarga.
Kalau kamu dulu senang sama anak-anak dan suka menggendong dan memeluk
mereka, maka sekarang karena dunia kita berbeda, jangan lagi lakukan hal
demikian karena Lowalangi akan menghukum engkau. Engkau tidak punya hak
lagi. Tugasmu adalah mendoakan anak-anak itu supaya mereka terpelihara
dan baik. Jangan kembali lagi ke rumah ini karena sudah ada rumahmu yang
baru(dan beberapa ungkapan lain).” Setelah 4 hari, diyakini bahwa arwah
sudah tidak berada di rumah lagi. Setahu saya tidak ada lagi upacara
untuk si mati, kecuali kalau fangasi tadi belum dibereskan.Acara pada
hari keempat ini adalah acara terakhir bagi orang yang sudah meninggal.
Tidak ada lagi acara-acara resmi lainnya untuk mengenang dan mendoakan
arwah tersebut.
Penutup
Dunia
setelah kematian bagi orang Nias terbagi dalam dua perspektif. Pendapat
pertama berpendapat bahwa setelah meninggal seseorang akan menjadi abu,
makanan cacing, dan tidak ada lagi harapan untuk kehidpan selanjutnya.
Kedua, setelah meninggal seeorang tetap melanjutkan hidup di dunia lain
yaitu Tetehõli ana’a. Maka dibuatlah adu untuk dapat mengenang mereka,
dan diyakini mereka akan masuk ke dalam patung-patung itu.
Untuk
mencari sintesis di antara dua padangan yang berbeda ini, perlu kita
mengetahui apa itu manusia dan terdiri dari apakah manusia itu dalam
perspektif Nias. Manusia terdiri dari boto (tubuh), noso (nafas/nyawa)
dan Lumõ-lumõ (roh/bayang-bayang). Pada saat meninggal noso akan kembali
kepada pencipta, sementara boto akan kembali ke tanah dan jadi debu.
Lumõ-lumõ akan kembali ke dunia roh (Tetehõli ana’a). Di sini semakin
jelas bahwa, boto sajalah yang akan musnah dan menjadi makanan cacing,
sementara lumõ-lumõ akan melanjutkan hidup di alam baka. Maka ada jurang
pemisah antara dunia arwah dengan dunia manusia.
Mereka
yang telah meninggal tidak bisa menyeberang jurang tersebut. Di sanalah
arwah yang sudah meninggal tinggal sampai selamanya. Hubungan dengan
mereka tidak ada lagi. Yang tinggal hanya Tõi nama, dan Lakõmi
(kemuliaan). Yang dapat dikenang dan menjadi kebanggaan bagi
generasinya, bila nama yang dia tinggalkan harum dan besar. Demikian
juga berlaku sebaliknya.
Wahana Pelajar Cerdas (WPC)
0 komentar:
Posting Komentar
Please... sampaikan komentar Anda, ya. Terima kasih. :)